Selasa, 25 Oktober 2011

Angklung Opa Adi

Oleh: Ita.hm
Setiap pagi Opa Adi sibuk dengan kebiasaannya. Yaitu memeriksa angklung kesayangannya. Opa Adi sangat sayang pada angklungnya. Bila sedang bersama angklungnya Opa Adi tidak bisa diganggu. Opa Adi akan berpesan kepada Oma Wati istrinya, “Bila ada yang mencariku, bilang aku sedang sibuk!”, dan Oma Wati hanya menggeleng-geleng kepala. Oma Wati sudah terbiasa dengan Opa Adi yang seperti itu. Oma Wati mengerti, angklung bagi Opa Adi bukan sekedar alat musik tetapi sudah seperti sahabat sejatinya.
Angklung itu dulu dibuat sendiri oleh Opa Adi dan teman-temannya. Opa Adi sudah bermain angklung sejak kecil. Opa Adi dan kelompok angklungnya sering tampil mengisi acara-acara kenegaraan, karena angklung merupakan alat musik tradisional Indonesia dari Jawa Barat. Opa Adi sangat bangga pandai bermain angklung.
Oya, angklung Opa Adi berwarna kuning pucat, berbeda dengan warna angklung pada umumnya yang berwarna kecoklatan seperti warna aslinya bambu yang sudah tua. Satu lagi yang unik dari angklungnya Opa Adi adalah hiasan ukiran bercorak batik pada bilah-bilah bambunya. Indah sekali dilihatnya.

                                                          ****
Pagi itu Opa Adi membawa angklungnya ke halaman depan rumah. Seminggu sekali Opa Adi menjemur angklungnya agar tidak berjamur karena lembab. Setibanya di luar, Opa Adi membersihkan angklungnya. Diusap-usapnya angklung tersebut  dan sesekali ditiupnya untuk menghilangkan debu yang menempel. Dihitungnya bilah-bilah  angklung dengan teliti, satu, dua, tiga, empat hingga delapan ‘’lengkap..’’ pikir Opa Adi. Semua berbaris rapi menggantung pada bingkai tempatnya.
Sejenak Opa Adi termenung. Dia menatap lekat angklungnya. “Coba semua cucuku ada disini, aku akan mangajari mereka bermain angklung ini”, Opa Adi bergumam sambil membayangkan cucu-cucunya bermain angklung. Opa Adi mempunyai delapan orang cucu dari tiga anaknya, tapi mereka semua tinggal di luar negri bersama orang tuanya. Dio, Vino, Farrel dan Alisya tinggal di Belanda. Ryan dan Athaya di Jerman, sementara  Hana dan Daffa di Mesir. Tak satupun yang tinggal di Indonesia. Mereka bertemu Opa Adi dan Oma Wati hanya pada saat Hari Raya saja.
                Dugh..prakk..tiba-tiba sebuah benda bulat jatuh menimpa angklungnya. Braayyy..bilah-bilah angklung berserakan di tanah. Bingkainya terlepas dari penyangganya. Opa Adi sangat terkejut. Ia berteriak sambil menahan marah.
‘’Siapa yang berani merusak angklung kesayanganku ?‘’
Dengan tergesa-gesa Oma Wati menghampirinya. Diambilnya bola yang tadi mengenai angklung Opa Adi.
“Sudahlah Opa tak usah marah. Anak-anak itu tak sengaja menendang bolanya hingga kemari. Mereka sedang bermain bola di lapangan samping rumah kita’’ kata Oma Wati berusaha menenangkan Opa Adi.
‘’Kemarikan bolanya’’ pinta Opa Adi pada Oma Wati.
‘’Bola ini tidak boleh kembali hingga mereka meminta maaf dan merapihkan angklung-angklungku seperti semula’’ lanjutnya.
                 Oma Wati terdiam. Ia memberikan bolanya kepada Opa. Ia berdo’a semoga angklung Opa Adi tidak ada yang rusak. Bila sampai ada yang rusak, Oma bisa membayangkan betapa akan bersedihnya Opa Adi. Dan Oma Wati tidak ingin melihat Opa Adi bersedih.
                Beberapa menit kemudian, seorang anak laki-laki menghampiri Opa Adi dan Oma Wati. Kepalanya ditundukan. Dia tidak berani menatap Opa Adi.
                ‘’Opa Adi saya minta maaf. Tadi saya terlalu kencang menendang bolanya’’ kata anak itu sambil tetap tertunduk.
                Sebelum Opa Adi menjawab, Oma Wati mendahului menjawabnya
‘’Tidak apa-apa. Lain kali menendang bolanya tidak terlalu kencang, karena lapangan itu tidak cukup luas untuk bermain bola’’ kata Oma Wati menasehati.
                ‘’Nah, sekarang panggil teman-temanmu dan rapihkan angklung-angklung itu’’ lanjut Oma Wati sambil menunjuk pada angklung yang masih berserakan.
                Opa Adi tidak berbicara apapun, dia tidak ingin kekesalannya terlihat anak-anak itu. Ia tahu mereka tidak sengaja. Opa Adi memperhatikan anak-anak merapihkan angklungnya.  Tiba-tiba Opa Adi mendapat ide. Ia menghitung anak-anak itu, satu, dua, tiga, delapan orang anak, tepat!. Opa Adi menghampiri mereka dengan wajah berseri-seri. Oma Wati terheran-heran melihat Opa Adi tiba-tiba berubah menjadi tampak bahagia. “Ada apakah gerangan?” Pikir Oma Wati.
                ‘’Nak, siapa nama kamu? Tanya Opa Adi pada anak yang paling tinggi.
                ‘’Nama saya Danar, Opa” jawab anak yang bernama Danar
                ‘’Danar, Kamu tahu nama alat itu?’’ Tanya Opa sambil menunjuk pada angklung yang sudah selesai dirapihkan.
                ‘’Tau Opa, ini angklung kan?’’ jawab Danar ragu-ragu.
                ‘’Guru kesenian saya pernah menjelaskannya di sekolah. Tapi saya belum pernah melihat bentuk sungguhannya, baru kali ini saya melihatnya” lanjut Danar tersenyum malu. Dia tidak merasa takut lagi.
                ‘’Kalau kamu dan teman-temanmu mau bisa bermain angklung, Opa bisa mengajarkan kalian bermain angklung. Bagaimana?’’ Tanya Opa Adi sambil menatapi satu persatu anak yang ada di hadapannya.
                ‘’Tentu Opa, kami sangat mau!’’ jawab anak-anak bersamaan.
                ‘’Kapan kita mulai belajarnya Opa?” tanya seorang anak bersemangat.
                ‘’Setiap hari sepulang kalian bersekolah’’ jawab Opa tak kalah bersemangat pula.
                Jawaban Opa Adi disambut anak-anak dengan kata ‘’Setujuuu !’’.

                                                                          **** 
Kini setiap sore hari rumah Opa Adi selalu ramai. Anak-anak bermain angklung dengan semangat. Opa Adi dan Oma Wati tidak kesepian lagi. Dan Opa Adi pun tidak lagi khawatir angklungnya akan cepat rusak dimakan rayap karna terlalu lama tidak digunakan.
“Ayo, kita mulai! Ingat, dari nada C lalu ke F dan seterusnya” Opa Adi memberi perintah.
Lalu terdengarlah klung..klung..klong..klang..klung.. dan beberapa anak mulai bernyanyi.
“Manuk Dadali, manuk pang gagahna. Perlambang sakti Indonesia Raya..”  terdengar indah dan merdu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar