Kamis, 25 Agustus 2011

Perkenalan Anak dengan Sastra

Banyak orang bilang sastra itu aneh, rumit dan inklusif, sehingga ranah sastra menjadi terasing dan terpenjara di Menara Gading. Ke-elitis-an sastra bisa jadi dikarenakan keberadaan penggunaan komposisi kata/bahasa yang memang tidak umum. Penggunaan istilah seperti metafor, simili, konotasi, denotasi dan lain-lain secara khusus memang harus dipelajari, artinya istilah-istilah tersebut memang punya aturan mainnya. Tapi apakah lantas sastra tidak dapat dinikmati karena ketidakmengertian istilah-istlah tersebut? Bagi saya sastra seperti makanan (maklum doyan makan :p), hanya ada dua istilah; enak atau sangat enak.

Kedua nilai tersebut terletak pada pemahaman saya terhadap sastra (termasuk pada istilah-istilah di atas tadi), bila paham sastra akan sangat lezat bila pun tidak/belum, sastra tetap enak dinikmati :). Itu makanya, hingga saat ini saya  terus belajar memahami sastra, baik secara ketatabahasaan maupun secara istilah. Agar saya mampu menikmati sastra selezat mungkin.

Sebenarnya pelajaran sastra pada level Sekolah Dasar sudah mulai dikenalkan sejak kelas satu semester dua, yaitu dengan membaca puisi sederhana dan memahami isi teks pendek dan menceritakan ulang teks tersebut kedalam kata-kata sendiri. Sebuah permulaan yang baik untuk mengenalkan sastra sejak dini. Namun sayangnya, kelanjutan isi pelajaran Bahasa Indonesia lebih difokuskan pada pembelajaran kebahasaan (gramatikal), sementara kesusastraannya hanya dijadikan pelengkap saja.
(bersambung...) @Bintaro