Selasa, 25 Oktober 2011

SONET: HEI! JANGAN KAU PATAHKAN

Karya: Sapardi Djoko Damono

Hei! jangan kau patahkan kuntum bunga itu
ia sedang mengembang; bergoyang dahan-dahannya yang tua
yang telah mengenal baik, kau tahu,
segala perubahan cuaca.

Bayangkan; akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar
hujan pun turun setiap bumi hampir hangus dan terbakar
dan mekarlah bunga itu perlahan-lahan
dengan gaib, dari rahim alam

Jangan; saksikan saja dengan teliti
bagaimana Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam
membunuhnya dengan hati-hati sekali
dalam Kasihsayang, dalam rindu-demdam alam
lihat; ia pun terkulai perlahan-lahan
dengan indah sekali, tanpa satu keluhan

Bahagia

Oleh: Ita.hm

Aku mengajak ibu bernyanyi
Ramaikan hariku yang sunyi
Ibu tahu aku tak suka sepi
Bersenandunglah kami
Tra.la.la.tri.li.li

Ayah pun ku ajak serta
Membuat irama dari rebana
Kami tertawa bahagia
hahahaha
Aku suka kami ceria
Mari, ayah dan ibu kita menari
Berputar ke sana ke sini
Bergoyang ke kanan ke kiri
Aku senang tiada terperi
Bintaro, 160811
*dibuat sebagai puisi wajib pada perlombaan baca puisi 17 Agustus di Sekolah 'gratis' Al-Iman Bintaro

Surat Buat Mama

Oleh: Alisya (kelas 4 SD)


Mamaku tersayang...


Aku ingin menulis sesuatu buat Mama, yang bila Mama baca, Mama akan terus mengingat aku. Dimana pun Mama berada.


Aku sedang berpikir apa yang akan aku tulis buat Mama. Tentu harus sesuatu yang istimewa, yang bagus dan yang indah. Sama istimewanya dengan suara Mama yang lembut di telinga aku. Juga sama bagusnya dengan rambut Mama yang panjang dan ikal. Dan sama indahnya pula dengan senyum Mama setiap berbicara padaku.


Meskipun teman-teman bilang, aku hampir tidak mirip dengan Mama. Karena warna rambutku yang coklat, sementara rambut Mama hitam. Dan mukaku sama sekali tidak mirip Mama, tapi aku benar-benar senang dan bangga jadi anak Mama.


Aku masih ingat waktu aku masih kecil. Mama sering menyanyikan lagu Lullaby dan Rock a Bye Baby. Suara  Mama bagus sekali, merdu. Walaupun Mama bukan penyanyi, tapi suara Mama lebih bagus dari penyanyi, sebab bisa buat aku tertidur.


Aku jadi masih bisa mendengar suara Mama mengajarkan aku berdoa sebelum tidur. Memberikan aku ciuman selamat tidur dan usapan lembut di kepalaku.


Mama ingat tidak, waktu aku memenangkan lomba puisi dulu? Mama bilang kalau aku istimewa, sangat istimewa. Aku bisa jadi apapun yang aku inginkan, selama aku mau bekerja keras meraihnya. Aku ingin bilang sama Mama, kalau aku ingin jadi penulis hebat dan terkenal. Dan aku akan bilang pada semua orang, kalau aku bisa jadi penulis karena Mama. Mama selalu bilang tulisanku bagus, walaupun menurutku jelek. 


Mama juga pasti masih ingat. Bagaimana Mama bisa membuat aku mengalahkan ketakutan aku terhadap ketinggian, waktu kita di Curug Luhur. Mama tahu dengan pasti kalau Mama pun takut atau fobia ketinggian. Tapi Mama ingin aku jadi orang yang bisa mengalahkan rasa takut melebihi Mama sendiri. Di atas perosotan batu alam yang licin karena banyak lumutnya, Mama menggenggam tanganku erat-erat dan membawaku meluncur dari ketinggian sepuluh meter dengan selamat tanpa pengaman apapun. Aku jadi tahu, bahwa Mama akan melakukan apapun- termasuk berhadapan dengan fobia Mama sendiri demi mengajariku dan memberikan aku keberanian yang tadinya aku tidak punya. Walaupun diam-diam Mama berbisik bahwa untuk bisa mengajakku meluncur, Mama harus menutup mata rapat-rapat. Mama membawaku ke bawah dengan mengandalkan kekuatan hati saja. Dan aku selamat sampai di bawah tanpa lecet sedikitpun. Jadi aku tahu, Mama sayang sama aku.


Waktu itu juga Mama bilang, bahwa keberanian mengajariku untuk menghadapi halangan apapun yang ada di depanku. Sebab kalau aku sedah besar nanti, aku harus menghadapi banyak rintangan. Yang kata Mama bisa aku selesaikan kalau aku belajar menghadapi rasa takut itu mulai dari sekarang.


Mama masih ingat surat terima kasihku yang aku tempel di pintu kamar Mama? Aku ingat catatan kecil yang Mama tulis sebagai balasan suratku, ''I Love You Perfect, Princess''. Aku masih simpan catatan Mama buatku itu.


Aku masih ingat semua ucapan Mama saat berbicara denganku. Mama bilang bahwa aku sesuai dengan namaku yaitu Bintang Terang. Sinarku akan selalu berpijar paling terang. Sebab aku bintang istimewa. Mama bilang, bangga memiliki aku.. sebab aku tidak sama dengan siapapun.


Mamaku tersayang..


Aku benar-benar kangen sama Mama sekarang. Aku tahu, aku tidak boleh cengeng. Aku harus bisa jadi anak yang berani, seperti yang Mama ajarkan padaku. Tapi aku tidak tahan untuk tidak menangis. Sebab aku ingin bersama Mama saat ini.


Aku ingin memeluk Mama erat. Merasakan elusan tangan Mama di rambut aku. Dan cium sayang Mama di pipi akau. Aku ingin mendengar suara Mama yang lembut dan berbisik di telingaku, ''Mama sayang kamu selalu''.


Kalau surat ini sampai ke tangan Mama. Aku tahu rumah Mama sekarang sangaaatt indah. Bukan rumah tapi istana yang bagusnya melebihi istananya Princess Diary. Aku bisa lihat istana Mama, kalau aku mengangkat kepalaku dan melihat jauh di atas awan sana. Di situ istana Mama.


Aku tahu surat ini pasti Mama baca. Walaupun tidak aku kirim lewat pos. Sebab Mama ada di sini. Di dalam dadaku.


Mamaku tersayang...


Dari syurga sana, bisa tidak Mama melihat aku? Aku akan senang sekali, bila Mama bisa bilang sama aku, kalau istana Mama sangat indah. Sebab Mama selalu bilang sama aku, kalau aku lah yang membangunkan istana di syurga untuk Mama.


Mama...
Aku sayang Mama.. selalu...  

LING DAN KECAPI AJAIB

                                                               Oleh: Naomi

Ling adalah seorang gadis kecil miskin yang tinggal di sebuah desa di Cina.  Ia tinggal bersama ayahnya, seorang penebang kayu.  Ibunya sudah meninggal ketika Ling masih kecil.
Ling masih ingat ketika ibunya masih ada, sebelum tidur ia  selalu memainkan kecapi di samping tempat tidur Ling sambil bernyanyi.  Denting kecapi dan suara merdu ibunya masih sering terngiang di telinga Ling sampai saat ini.  Kecapi itu kini tersimpan di lemari tua.  Itu adalah satu-satunya harta berharga di rumah Ling dan ayahnya tidak mau menjualnya.
Suatu malam Ling tidak bisa tidur, ia seperti mendengar suara yang menyuruhnya mengambil dan memainkan kecapi ibunya.  Mula-mula Ling tidak menghiraukan, tapi suara-suara itu terdengar semakin keras di telinga Ling.  Ling bangun, perlahan ia berjalan menuju lemari tua dan membuka pintunya.  Kecapi itu tergeletak di sana.  Berdebu dan tidak terurus. Ling mengambilnya dengan hati-hati.  Ia membersihkan badan kecapi yang terbuat dari kayu. Di samping badan kecapi terdapat ukiran bunga Mei Hua yang cantik.
“Kecapi yang indah” pikir Ling,”sayang aku tidak bisa memainkannya.”  Ling mencoba memetik senar-senarnya tetapi suara yang keluar terdengar sumbang.
“Mungkin besok pagi aku bisa membetulkan senar kecapi ini” kata Ling sambil membawa kecapi itu ke kamarnya dan kembali tidur.
Sejak itu  Ling mencoba untuk memainkan kecapi tersebut. Tanpa ia sadari ia dapat mengetahui nada-nada pada senar itu secara tepat dan membetulkan senar yang sumbang.
Di suatu sore, Ling membawa kecapinya ke tepi sungai.  Ia duduk bersila, menaruh kecapi di pangkuan dan mulai memetik senar-senarnya.  Ling mencoba mengingat kembali lagu-lagu yang dimainkan ibunya dulu.  Seperti ada kekuatan aneh, tiba-tiba Ling dapat memainkan kecapi itu dengan baik.  Ling hanyut dalam permainannya sendiri.  Ia terus memetik senar-senar kecapi tanpa lelah sampai tiba-tiba bunga mei hua yang terukir di kecapinya keluar dan menjelma menjadi bunga-bunga mei hua asli. 


Kelopak-kelopak merah muda berterbangan di sekeliling Ling.  Ling terus bermain dan bunga-bunga menari mengikuti denting kecapinya.  Samar-samar dari arah sungai ia melihat suatu sosok yang amat dikenalnya.
“Ibu? Engkaukah itu ibu?” seru Ling sambil menggosok-gosokkan matanya tak percaya.
“Teruslah bermain anakku. Ibu akan selalu datang di saat kau bermain kecapi.  Jangan sedih anakku,” hibur ibunya.
Sejak itu Ling semakin rajin bermain kecapi. Ia juga dapat membuat lagu-lagu indah lewat kecapinya.  Ling sangat senang karena selama ia bermain kecapi ia dapat melihat ibu di dekatnya.
Ling menjadi terkenal di desanya, bahkan sampai ke kota-kota.  Orang-orang datang untuk mendengar permainan Ling. Sebagai rasa terimakasih kadang mereka memberi Ling makanan atau uang sekadarnya. Ling senang ia dapat membantu ayahnya mencari nafkah.
Sementara itu di istana kekaisaran, Kaisar sedih karena putera mahkota sedang sakit. Tabib-tabib dari pelosok negeri sudah didatangkan tapi tak ada satupun yang dapat menyembuhkannya.  Putera mahkota tetap terbaring dan tidak dapat bangun dari tempat tidurnya.
Pada suatu hari datanglah seorang peramal menghadap Kaisar.  Menurutnya hanya dengan permainan musik yang paling indah putera mahkota dapat disembuhkan.   Mendengar itu Kaisar langsung menyuruh kepala pemain musik istana, Tuan Lu, untuk bermain musik untuk putera mahkota.  Namun permainan Tuan Lu tidak dapat membangunkannya.  Kaisar lalu menyuruh Tuan Lu untuk mencari pemain-pemain musik terbaik di seluruh negeri.  Walaupun enggan, Tuan Lu melaksanakan perintah Kaisar.
Tuan Lu  berkeliling negeri mendengarkan permainan tambur, biola dan suling cina tapi tidak ada yang memuaskannya.  Sampai akhirnya Tuan Lu mendengar kehebatan Ling.  Ia datang ke desa dan mendengarkan permainan kecapi Ling.
“Menakjubkan,” kata Tuan Lu dalam hati,” pasti inilah pemain musik yang dicari”.  Tapi ia berpikir, jika ia mendatangkan Ling ke istana maka kedudukannya sebagai pemain musik istana akan terancam, ia tidak akan dipekerjakan lagi di istana. Tapi jika ia tidak membawa Ling, mungkin lama kelamaan kehebatan Ling akan terdengar juga oleh Kaisar dan ia akan dipersalahkan.
“Hhmmm aku punya akal!” kata Tuan Lu dalam hati,” jika ini berhasil, aku tidak akan dipersalahkan Kaisar dan aku tetap menjadi pemain musik kesayangannya”

------------------------

Beberapa hari kemudian Ling bingung memikirkan kecapinya. Kecapinya hilang! Ia mencari di seluruh tempat di rumahnya namun sia-sia.  Ling duduk tertunduk di depan rumahnya.
“ Kasihan ayah, aku tidak dapat lagi membantunya bekerja,” gumam Ling, matanya menerawang menatap jalan depan rumah.  Tiba-tiba Ling melihat sesuatu yang berkilat-kilat dekat pagar rumahnya.
“Apa itu?” Ling berjalan mendekati benda itu. “Sebuah gelang emas!” seru Ling, ia mengamat-amati gelang indah itu, ada tanda kerajaan terukir di permukaan gelang.
“Bagaimana gelang ini bisa berada di sini? Aku harus memberitahu ayah,” Ling berlari ke dalam rumah menemui ayahnya.  Mereka memutuskan untuk mengembalikan gelang itu ke kerajaan.  Bersama ayahnya, Ling pergi menuju istana.
Di istana Ling menceritakan bahwa ia menemukan gelang bertanda kerajaan di rumahnya ketika ia sedang mencari kecapinya yang hilang.
“Saya ingin mengembalikan gelang ini tuanku Kaisar, karena ini bukan milik saya dan saya tidak ingin dituduh mencuri”, kata Ling
Kaisar  menerima gelang itu dan mengamatinya.
“Ya, ini adalah gelang kerajaan yang diberikan untuk pegawai-pegawai istana.  Tadi kamu bilang bahwa kamu sedang mencari kecapimu yang hilang.  Apakah kamu seorang pemain musik?”
“Saya hanyalah pemain kecapi di desa, tuanku”,jawab Ling
Kaisar segera mengerti apa yang terjadi.  Ia memanggil Tuan Lu dan menunjukkan gelang itu.  Tuan Lu ketakutan dan mengaku bahwa ia yang mencuri kecapi Ling.  Kaisar menyuruhnya mengembalikan kecapi itu dan meminta Ling untuk bermain di hadapannya.
Permainan Ling begitu indahnya sehingga Kaisar menyuruhnya bermain di samping tempat tidur putera mahkota.  Ukiran bunga mei hua di kecapi Ling menjelma menjadi bunga-bunga  yang berterbangan di sekeliling putera mahkota.  Alunan denting kecapi Ling membangunkan putera mahkota dari sakitnya.
Ling diangkat menjadi pemain musik istana menggantikan Tuan Lu.  Ia dan ayahnya kini tinggal di istana.

Angklung Opa Adi

Oleh: Ita.hm
Setiap pagi Opa Adi sibuk dengan kebiasaannya. Yaitu memeriksa angklung kesayangannya. Opa Adi sangat sayang pada angklungnya. Bila sedang bersama angklungnya Opa Adi tidak bisa diganggu. Opa Adi akan berpesan kepada Oma Wati istrinya, “Bila ada yang mencariku, bilang aku sedang sibuk!”, dan Oma Wati hanya menggeleng-geleng kepala. Oma Wati sudah terbiasa dengan Opa Adi yang seperti itu. Oma Wati mengerti, angklung bagi Opa Adi bukan sekedar alat musik tetapi sudah seperti sahabat sejatinya.
Angklung itu dulu dibuat sendiri oleh Opa Adi dan teman-temannya. Opa Adi sudah bermain angklung sejak kecil. Opa Adi dan kelompok angklungnya sering tampil mengisi acara-acara kenegaraan, karena angklung merupakan alat musik tradisional Indonesia dari Jawa Barat. Opa Adi sangat bangga pandai bermain angklung.
Oya, angklung Opa Adi berwarna kuning pucat, berbeda dengan warna angklung pada umumnya yang berwarna kecoklatan seperti warna aslinya bambu yang sudah tua. Satu lagi yang unik dari angklungnya Opa Adi adalah hiasan ukiran bercorak batik pada bilah-bilah bambunya. Indah sekali dilihatnya.

                                                          ****
Pagi itu Opa Adi membawa angklungnya ke halaman depan rumah. Seminggu sekali Opa Adi menjemur angklungnya agar tidak berjamur karena lembab. Setibanya di luar, Opa Adi membersihkan angklungnya. Diusap-usapnya angklung tersebut  dan sesekali ditiupnya untuk menghilangkan debu yang menempel. Dihitungnya bilah-bilah  angklung dengan teliti, satu, dua, tiga, empat hingga delapan ‘’lengkap..’’ pikir Opa Adi. Semua berbaris rapi menggantung pada bingkai tempatnya.
Sejenak Opa Adi termenung. Dia menatap lekat angklungnya. “Coba semua cucuku ada disini, aku akan mangajari mereka bermain angklung ini”, Opa Adi bergumam sambil membayangkan cucu-cucunya bermain angklung. Opa Adi mempunyai delapan orang cucu dari tiga anaknya, tapi mereka semua tinggal di luar negri bersama orang tuanya. Dio, Vino, Farrel dan Alisya tinggal di Belanda. Ryan dan Athaya di Jerman, sementara  Hana dan Daffa di Mesir. Tak satupun yang tinggal di Indonesia. Mereka bertemu Opa Adi dan Oma Wati hanya pada saat Hari Raya saja.
                Dugh..prakk..tiba-tiba sebuah benda bulat jatuh menimpa angklungnya. Braayyy..bilah-bilah angklung berserakan di tanah. Bingkainya terlepas dari penyangganya. Opa Adi sangat terkejut. Ia berteriak sambil menahan marah.
‘’Siapa yang berani merusak angklung kesayanganku ?‘’
Dengan tergesa-gesa Oma Wati menghampirinya. Diambilnya bola yang tadi mengenai angklung Opa Adi.
“Sudahlah Opa tak usah marah. Anak-anak itu tak sengaja menendang bolanya hingga kemari. Mereka sedang bermain bola di lapangan samping rumah kita’’ kata Oma Wati berusaha menenangkan Opa Adi.
‘’Kemarikan bolanya’’ pinta Opa Adi pada Oma Wati.
‘’Bola ini tidak boleh kembali hingga mereka meminta maaf dan merapihkan angklung-angklungku seperti semula’’ lanjutnya.
                 Oma Wati terdiam. Ia memberikan bolanya kepada Opa. Ia berdo’a semoga angklung Opa Adi tidak ada yang rusak. Bila sampai ada yang rusak, Oma bisa membayangkan betapa akan bersedihnya Opa Adi. Dan Oma Wati tidak ingin melihat Opa Adi bersedih.
                Beberapa menit kemudian, seorang anak laki-laki menghampiri Opa Adi dan Oma Wati. Kepalanya ditundukan. Dia tidak berani menatap Opa Adi.
                ‘’Opa Adi saya minta maaf. Tadi saya terlalu kencang menendang bolanya’’ kata anak itu sambil tetap tertunduk.
                Sebelum Opa Adi menjawab, Oma Wati mendahului menjawabnya
‘’Tidak apa-apa. Lain kali menendang bolanya tidak terlalu kencang, karena lapangan itu tidak cukup luas untuk bermain bola’’ kata Oma Wati menasehati.
                ‘’Nah, sekarang panggil teman-temanmu dan rapihkan angklung-angklung itu’’ lanjut Oma Wati sambil menunjuk pada angklung yang masih berserakan.
                Opa Adi tidak berbicara apapun, dia tidak ingin kekesalannya terlihat anak-anak itu. Ia tahu mereka tidak sengaja. Opa Adi memperhatikan anak-anak merapihkan angklungnya.  Tiba-tiba Opa Adi mendapat ide. Ia menghitung anak-anak itu, satu, dua, tiga, delapan orang anak, tepat!. Opa Adi menghampiri mereka dengan wajah berseri-seri. Oma Wati terheran-heran melihat Opa Adi tiba-tiba berubah menjadi tampak bahagia. “Ada apakah gerangan?” Pikir Oma Wati.
                ‘’Nak, siapa nama kamu? Tanya Opa Adi pada anak yang paling tinggi.
                ‘’Nama saya Danar, Opa” jawab anak yang bernama Danar
                ‘’Danar, Kamu tahu nama alat itu?’’ Tanya Opa sambil menunjuk pada angklung yang sudah selesai dirapihkan.
                ‘’Tau Opa, ini angklung kan?’’ jawab Danar ragu-ragu.
                ‘’Guru kesenian saya pernah menjelaskannya di sekolah. Tapi saya belum pernah melihat bentuk sungguhannya, baru kali ini saya melihatnya” lanjut Danar tersenyum malu. Dia tidak merasa takut lagi.
                ‘’Kalau kamu dan teman-temanmu mau bisa bermain angklung, Opa bisa mengajarkan kalian bermain angklung. Bagaimana?’’ Tanya Opa Adi sambil menatapi satu persatu anak yang ada di hadapannya.
                ‘’Tentu Opa, kami sangat mau!’’ jawab anak-anak bersamaan.
                ‘’Kapan kita mulai belajarnya Opa?” tanya seorang anak bersemangat.
                ‘’Setiap hari sepulang kalian bersekolah’’ jawab Opa tak kalah bersemangat pula.
                Jawaban Opa Adi disambut anak-anak dengan kata ‘’Setujuuu !’’.

                                                                          **** 
Kini setiap sore hari rumah Opa Adi selalu ramai. Anak-anak bermain angklung dengan semangat. Opa Adi dan Oma Wati tidak kesepian lagi. Dan Opa Adi pun tidak lagi khawatir angklungnya akan cepat rusak dimakan rayap karna terlalu lama tidak digunakan.
“Ayo, kita mulai! Ingat, dari nada C lalu ke F dan seterusnya” Opa Adi memberi perintah.
Lalu terdengarlah klung..klung..klong..klang..klung.. dan beberapa anak mulai bernyanyi.
“Manuk Dadali, manuk pang gagahna. Perlambang sakti Indonesia Raya..”  terdengar indah dan merdu.

Kamis, 25 Agustus 2011

Perkenalan Anak dengan Sastra

Banyak orang bilang sastra itu aneh, rumit dan inklusif, sehingga ranah sastra menjadi terasing dan terpenjara di Menara Gading. Ke-elitis-an sastra bisa jadi dikarenakan keberadaan penggunaan komposisi kata/bahasa yang memang tidak umum. Penggunaan istilah seperti metafor, simili, konotasi, denotasi dan lain-lain secara khusus memang harus dipelajari, artinya istilah-istilah tersebut memang punya aturan mainnya. Tapi apakah lantas sastra tidak dapat dinikmati karena ketidakmengertian istilah-istlah tersebut? Bagi saya sastra seperti makanan (maklum doyan makan :p), hanya ada dua istilah; enak atau sangat enak.

Kedua nilai tersebut terletak pada pemahaman saya terhadap sastra (termasuk pada istilah-istilah di atas tadi), bila paham sastra akan sangat lezat bila pun tidak/belum, sastra tetap enak dinikmati :). Itu makanya, hingga saat ini saya  terus belajar memahami sastra, baik secara ketatabahasaan maupun secara istilah. Agar saya mampu menikmati sastra selezat mungkin.

Sebenarnya pelajaran sastra pada level Sekolah Dasar sudah mulai dikenalkan sejak kelas satu semester dua, yaitu dengan membaca puisi sederhana dan memahami isi teks pendek dan menceritakan ulang teks tersebut kedalam kata-kata sendiri. Sebuah permulaan yang baik untuk mengenalkan sastra sejak dini. Namun sayangnya, kelanjutan isi pelajaran Bahasa Indonesia lebih difokuskan pada pembelajaran kebahasaan (gramatikal), sementara kesusastraannya hanya dijadikan pelengkap saja.
(bersambung...) @Bintaro