Selasa, 27 November 2012

Teman Istimewa

Avicenna adalah anggota sanggarLitera SD Mutiara Harapan yang berumur 10 tahun.  Kesukaannya membaca dan mengarang cerita. Imajinasinya kaya dan cara bertuturnya cukup bagus untuk anak seumurnya.  Ini adalah salah satu karyanya.

Jam 4 sore. Berarti, sudah setengah jam aku menunggu. Huh, sudah lama sekali tidak ada yang datang menjemput, mana hujan deras lagi. Aku baru saja selesai latihan tambahan pelajaran IPA. Itu berarti, aku pulang telat satu jam dari biasanya. Tapi tak apa, bukan berarti tidak ada yang menjemputku.
Lama-lama aku bosan menunggu. Biasanya bila pulang telat begini, aku akan bermain dulu Tania, teman sekelasku yang kakaknya berada di bangku SMP di sekolah yang sama denganku. Tapi hari ini Tania pulang lebih awal karena kakak Tania pingsan sewaktu belajar. Dan kini aku jadi kesepian. Tak ada teman bermain selagi menunggu jemputan. Yah, harus kuakui, aku sebenarnya jarang pulang telat seperti ini. Lalu aku memutuskan untuk bertanya pada Pak Jainudin, satpam sekolah yang sedang berjaga saat itu, apakah aku sudah dijemput atau belum. Aku lihat Pak Jainudin sedang sibuk, sehingga tidak mungkin ia akan sempat menjawab pertanyaanku. Tapi, ternyata ia sempat, walaupun hanya dengan gelengan kepala. Aku kecewa karena belum juga dijemput pulang.
          Hei, kenapa tiba-tiba saja hujan bertambah deras tepat di atas kepalaku!? Uh, suatu sore yang sial. Apakah tidak ada yang mau berbagi payung untukku? Lebih baik aku bertanya lagi pada pak satpam, apakah jemputanku sudah tiba?. Hasilnya? Tidak ada. Sekolah sudah mulai sepi. Sungguh malang orang sepertiku, aku menatap kosong kedepan ke arah hujan deras. Tapi sepertinya tidak ada siapa-siapa.
          Hei, aku bilang apa? tidak ada siapa-siapa? Bagaimana dengan Pak Jainudin? Dia juga tidak menggunakan payung? Apa ia tidak capek?
          “Pak, bapak memang tidak capek? Padahal, sudah dari tadi lho, hujan deras lagi” tanyaku. Aku berharap mendapat jawaban dari pak satpam.
          “Eng, capek sih. Tapi ini kan tugas. Kalau dijalani dengan ikhlas, mungkin tidak akan terasa capek. Hanya kesusahan sedikit.” kata Pak Jainudin sambil bekerja menjaga kendaraan yang ribut di parkiran sekolah. Aku hanya ber’oh’ panjang.
          Mendengar seperti itu, rasanya aku bisa merasakan rasanya jadi satpam seperti Pak Jainudin ini.
          “Lalu, apakah menjadi satpam itu selalu repot begini?” tanyaku penasaran. Hehehe, orang penasaran sepertiku ini pasti akan bertanya sampai masalahnya tuntas.
          “Oh, nggak begitu juga. Terkadang, saya senang melihat anak-anak gembira masuk sekolah dan pulang bertemu orang tua mereka. Kebanyakan ibu murid-murid sekolah Mutiara Harapan juga tak jarang memberi saya makanan” kata Pak Jainudin yang masih sempat menjawab pertanyaanku.
          “Wah, bapak seharian menjaga sekolah ini ya, pak?” tanyaku, sedikit membangkitkan semangat.
          “Nggak setiap hari juga, dek. Bapak bergantian jaga dengan satpam lain,” jawabnya. Oh iya, aku lupa kalau sekolahku memiliki dua satpam, dan kukira mereka berjaga bersamaan setiap harinya.
          Aku jadi banyak bertanya pada Pak Jainudin. Setidaknya, tentang kehidupannya. Aku jadi ingin memberikan sesuatu untuk Pak Jainudin dan keluarganya. Hmm, nanti akan aku pikirkan di rumah saja.
          “Eh, dek, udah dijemput tuh!” kata Pak Jainudin menutup pembicaraan kami. Aku melihat supirku yang menjemputku, bukan mamaku. Tak apalah, dari pada aku tidak dijemput. Tidak lupa aku berterima kasih pada Pak Jainudin.
****
          “Ma, boleh tidak aku memberikan ini pada Pak Jainudin, satpam sekolah?” tanyaku setiba di rumah. “Seingatku, Mama ga pernah kasih sesuatu untuk Pak Jainudin…”
          “Ah iya, betul juga. Lebih baik, bawa ini saja…” kata Mama.
****
          Hujan deras lagi. Musim hujan, sih. Tapi aku bertekad untuk tetap kembali ke sekolah, walaupun dengan berjalan kaki. Karena, aku sekarang punya teman istimewa yang menungguku di sekolah.
          Kulirik jam tanganku yang kedap air. Jam 4.30 sore. Lebih baik aku segera berangkat.
          Petir menyambar, suaranya sangat keras. Akhirnya, sampai juga aku di sekolah. Terlihat Pak Jainudin dengan jas hujan berwarna merah, mengatur jalanan di depan sekolah. Segera kupercepat lariku menghindari derasnya hujan.
          “Pak! Pak Jainudin!” teriakku. Pak Jainudin menoleh.
          “Wah, Fira, ngapain kamu disini?” tanya Pak Jainudin.
          “Cuma mau mengantar ini ke bapak” kataku dengan terengah-engah.
          “Wah, terima kasih banyak. Kebetulan bapak lapar. Fira ikut makan aja, yuk!” ajak Pak Jainudin.
          “Ah, enggak usah. Makasih pak, saya pulang duluan, ya” kataku pamit.
          “Iya, hati-hati,” balas Pak Jainudin
****
          Begitulah ceritanya. Nah, apakah kamu menemukan sesuatu? Tadi, sengaja aku singgungkan ‘teman istimewa’. Jika kau belum menemukan siapa teman istimewa tersebut, coba baca dari awal lagi sampai menemukannya. Mengerti kan?